Jepang adalah salah satu negara yang memiliki perekonomian yang maju. Negara industri ini dikenal sebagai tuan rumah industri pornografi yang berkontribusi besar terhadap PDB di negaranya. Industri pornografi di Jepang telah berkembang pesat sejak tahun 1990-an. Meskipun dipandang amoral, akan tetapi bisnis ini justru telah legal dan telah disahkan oleh undang-undang. Fakta mengejutkan lainnya, industri ini telah menyokong perekonomian Jepang dengan jumlah pendapatan senilai US$70 miliar atau sekitar 1 triliun pertahun.
Setiap harinya, industri pornografi Jepang bisa menghasilkan ratusan video dengan target sasarannya adalah seluruh lapisan kalangan di berbagai penjuru dunia yang memiliki interest terhadap pornografi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, industri pornografi semakin lihai mengemas film biru dengan berbagai inovasi agar disukai oleh target pasar mereka. Tak jarang mereka memainkan fantasi penonton dengan menghadirkan tokoh-tokoh animasi (anime) agar lebih menarik dan diminati oleh pasar. Jelaslah jika pada akhirnya industri ini menjadi laris dan dapat menyokong perekonomian negara.
Namun, terlepas dari larisnya industri pornografi di Jepang, negara ini justru menjadi negara dengan resesi sex yang rendah. Resesi sex yang rendah ini mengakibatkan lemahnya angka kelahiran di Jepang dan tentu saja berpengaruh terhadap rendahnya jumlah penduduk usia aktif di sana. Tercatat bahwa angka kelahiran pada Januari hingga Juni 2024 berjumlah 350.074, turun hampir enam persen dibandingkan Januari-Juni 2023. Sementara itu, penduduk dengan usia 65 tahun ke atas mencapai 30 persen dari populasi.
Fakta ini terdengar unik, kenapa tuan rumah pornografi justru mengalami resesi sex? Ternyata ada berbagai alasan yang melatarbelakangi mengapa tuan rumah industri pornografi ini mengalami resesi sex. Faktor-faktor tersebut seperti masalah ekonomi dan tingginya biaya hidup di Jepang, kurangnya fasilitas penitipan anak, kelelahan bekerja dan minat terhadap sex yang rendah. Rendahnya minat terhadap sex juga dipengaruhi oleh kelelahan bekerja serta masalah pornografi. Bagi para pekerja di Jepang, semakin disibukkan oleh pekerjaan maka akan semakin berkurang pula waktu yang dapat diberikan kepada pasangan. Sementara itu, bagi pecandu pornografi, sex menjadi tidak menyenangkan karena mereka lebih senang berada dalam alam fantasi pornografi yang sering kali terkesan dilebih-lebihkan. Bagi pecandu pornografi, sex yang nyata tidak semenarik fantasi pornografi yang sering mereka nikmati. Bahkan pecandu pornografi yang juga merupakan otaku memilih menjalin hubungan dengan anime.
Nyatanya, film biru menyumbang kontribusi pada resesi sex yang menggila di Jepang. Menjadi tuan rumah pornografi dengan penghasilan yang fantastis ternyata tidak mendorong minat sex yang tinggi bagi masyarakat Jepang, justru sebagian masyarakat menganggap sex sebagai sesuatu yang mengganggu.