Jepang

Jepang Resmi Batasi Penggunaan Nama Bayi yang Terlalu Mencolok dan Tidak Umum

Ilustrasi bayi. Sumber: freepik.com
Ilustrasi seorang bayi. Sumber: freepik.com

Mulai 26 Mei 2025, Pemerintah Jepang secara resmi menerapkan revisi terhadap Undang-Undang Daftar Keluarga yang membatasi pemberian nama bayi dengan pelafalan atau arti yang mencolok, tidak lazim, atau tidak sesuai dengan standar bacaan kanji yang umum digunakan. Langkah ini ditujukan untuk mengatasi fenomena “nama kirakira” – istilah yang merujuk pada nama-nama unik, kreatif, atau nyentrik yang kian populer sejak era 1990-an.

Nama-nama seperti Pikachu (光宙) atau Akuma (悪魔, yang berarti ‘iblis’), yang terinspirasi dari budaya pop atau memiliki arti negatif, kini menjadi sorotan karena dianggap berpotensi menimbulkan kebingungan administratif dan beban sosial bagi anak di masa depan. Dalam beberapa kasus, nama-nama semacam ini bahkan bisa menimbulkan stigma atau ejekan dari lingkungan sekitar.

Berdasarkan aturan baru ini, setiap nama anak yang didaftarkan wajib disertai pembacaan fonetik (furigana) dari karakter kanji yang digunakan. Jika pembacaan menyimpang dari norma umum atau tidak sesuai dengan pelafalan tradisional, pihak berwenang memiliki hak untuk menolak nama tersebut. Orang tua juga diwajibkan memberikan alasan tertulis apabila memilih bacaan yang tidak konvensional. Dalam kasus tertentu, mereka bahkan dapat diminta untuk mengganti nama anak dengan pilihan yang lebih sesuai secara sosial.

Pemerintah Jepang menyatakan bahwa sekitar 3.000 karakter kanji tetap diperbolehkan digunakan selama pengucapannya lazim dan tidak menyimpang jauh dari standar. Penegakan kebijakan ini juga mencakup upaya distribusi kartu pos ke rumah-rumah tangga yang mencantumkan pengucapan resmi nama-nama yang tercatat di registri nasional. Masyarakat kemudian dapat meminta koreksi bila terdapat kesalahan, dengan batas waktu satu tahun.

Langkah ini dipandang sebagai bentuk perlindungan terhadap hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan sosial yang sehat tanpa beban akibat nama yang eksentrik atau membingungkan. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat memperlancar proses administratif di institusi publik seperti sekolah, rumah sakit, dan layanan pemerintahan lainnya.

Dengan diberlakukannya aturan ini, Jepang menunjukkan keseriusannya dalam menjaga keseimbangan antara ekspresi individual dalam pemberian nama, kepentingan sosial dan mental bagi anak, serta administratif yang lebih luas.