Penggemar anime yang telah menonton sejak lama, seperti One Piece, Dragon Ball, Naruto, Bleach hingga Black Clover, tentu terbiasa menikmati episode terbaru setiap minggu tanpa harus menunggu berbulan-bulan. Hal ini karena anime-anime tersebut termasuk dalam kategori long-running anime atau anime dengan episode panjang, yang tidak dibagi ke dalam musim (season) seperti kebanyakan anime saat ini. Sebaliknya, anime modern umumnya hanya memiliki 12 episode per musim, atau maksimal 24 episode jika dibagi dalam dua cour.
Menariknya, anime long-run kini semakin berkurang. Bahkan, beberapa waktu lalu, One Piece, salah satu anime long-run terbesar, memutuskan untuk hiatus selama enam bulan. Keputusan ini membuatnya lebih menyerupai anime seasonal dibandingkan anime long-run. Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari meningkatnya jumlah anime yang tayang setiap minggu hingga preferensi penonton yang kini lebih menyukai anime dengan kualitas animasi tinggi, seperti Kimetsu no Yaiba.

Namun, berkurangnya anime long-run bukan hanya karena permintaan pasar, tetapi juga akibat tantangan dalam industri anime itu sendiri. Baru-baru ini, seorang animator Jepang, Kyouko Kotani, mengungkap alasan mengapa anime long-run semakin jarang dibuat.
Kotani menjelaskan bahwa produksi serial anime berkualitas tinggi semakin sulit karena kekurangan tenaga kerja dan meningkatnya tuntutan industri. Saat ini, hampir mustahil untuk memproduksi dua musim berturut-turut dari sebuah anime karena tim produksi terlalu terbebani. Bahkan jika sumber daya mencukupi dalam satu tahun, biasanya hanya memungkinkan untuk menghasilkan satu musim dengan 12 episode.
“Saat ini, standar produksi anime televisi hampir setara dengan kualitas film, sehingga membuat produksi jangka panjang menjadi sangat sulit,” ujar Kotani.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa sekitar 10 tahun lalu, para animator bekerja tanpa henti, bahkan di akhir pekan, demi memenuhi tenggat waktu. Namun, kini semakin sedikit tenaga kerja terampil, terutama animator yang mampu menangani gambar kunci (key animation) dan tata letak (layout). Akibatnya, beberapa studio mulai bergantung pada animator amatir atau bahkan mereka yang belum memiliki pengalaman untuk mengerjakan tugas-tugas sederhana, seperti menyiapkan materi untuk pascaproduksi.
“Kekurangan animator berpengalaman memperlambat produksi. Sebagian besar hasil kerja animator amatir tidak bisa langsung digunakan untuk siaran, sehingga supervisor harus mengulanginya dari awal,” jelas Kotani.
Situasi ini memperumit produksi anime berkualitas tinggi dan semakin menyulitkan pembuatan anime long-run. Pernyataan Kotani mencerminkan tantangan besar yang dihadapi industri animasi Jepang saat ini dalam menyeimbangkan kualitas dengan ketersediaan tenaga kerja.
Berkurangnya anime long-run bukan sekadar tren, tetapi juga cerminan dari perubahan industri anime yang semakin menuntut kualitas tinggi dengan keterbatasan tenaga kerja. Studio kini lebih memilih format musiman untuk menjaga konsistensi produksi, sementara penonton juga mulai terbiasa dengan anime berkualitas tinggi dalam jumlah episode yang lebih sedikit.
Meski demikian, anime long-run tetap memiliki tempat di hati penggemar, terutama bagi mereka yang tumbuh dengan seri seperti One Piece, Naruto, dan Dragon Ball. Perubahan ini bukan berarti akhir dari era anime panjang, tetapi lebih kepada adaptasi industri terhadap tantangan zaman.